Showing posts with label cerpen. novel. Show all posts
Showing posts with label cerpen. novel. Show all posts

Thursday, March 31, 2016

Karya Andrea Hirata Cepen Kemarau

Kemarau
           http://www.duniastudents.tk/2016/03/kemarau-barangkali-karenahawa-panas.html
Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
           
            Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir-pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.

            Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.

            Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tapi selalu gagal. Aku hanya menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki pembuat parang patutlah dicurigai.

            Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan ini kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45 dan papan reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini.

            Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.

Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat.

            Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri.
            Mereka muak melihat orang-orang udik yang menontong mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.

            “Mau kemana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang bertedu di bawah patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada mereka.

            “Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar dan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.

            Kapal keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.

            Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.

            Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu bila dibariskan akan membentuk segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.

            Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau.

            “Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada di depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.

            “Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu telah lenyap, macam telah disulap seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya. “Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?”

            “Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terhenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat patung itu dan bergabung dengan pejuang 45. Namun tak kulakukan, karena aku sudah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5.

            Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan terdengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucap salam. Kemudian kudengar suara gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduanku pada ayah semakin tak tertanggungkan.







Karya Cerpen Andrea Hirata - Cinta di Dalam Gelas

Judul                                       : Cinta di Dalam Gelas
Penulis                                     : Andrea Hirata
Penerbit                                   : Bentang
Tahun terbit                             : 2012

Tebal buku                              : 264 

http://www.duniastudents.tk/2016/03/blog-post.html

Membaca novel Andrea Hirata artinya siap terhibur, tersenyum bahkan tertawa sekaligus dibuat sedih sampai keluar air mata. Itu saya alami saat membaca tetraloginya "Laskar Pelangi", "Sang Pemimpi", "Edensor", dan "Maryamah Karpov". Rupanya ramuan kata-kata yang mengaduk perasaan pembaca itu masih menjadi resep ampuh Andrea Hirata dalam novelnya "Cinta di Dalam Gelas".

            Jika tetraloginya keempat novel itu telah berhasil saya miliki, namun untuk novel dwiloginya ini saya membaca koleksi milik perpustakaan daerah/perpusda atau nama resminya Perpustakaan Umum Banjarnegara.  Novel ini menjadi dwiloginya dengan novel bagian pertama " Padang Bulan". Dua-duanya masih bertokoh aku Ikal, sama seperti Ikal di tetralogi. Yang menjadi tokoh utama di novel ini Enong atau Maryamah. Maryamah diceritakan seorang gadis yatim yang ditinggal mati ayahnya. Dalam novel sebelumnya diceritakan tentang pasangan ayah ibu Enong Syalimah dan Zamzani. Bahkan yang menjadi judul novel pun tentang cinta Syalimah kepada Zamzani yang diibaratkan segelas kopi yang diseduh dengan penuh kasih sayang. Segelas kopi yang menggambarkan cinta. Termasuk cinta Zamzani diekspresikan dengan memotong kuku-kuku Syalimah saat duduk-duduk di beranda rumah. Duh perbuatan sederhana nan romantis.
           
            Kembali ke Enong, dia seorang gadis yang setelah ayahnya meninggal  mau menjadi kuli tambang. Pergi ke sungai membawa cangkul dan berebut lahan timah dengan penambang laki-laki demi menghidupi ibu dan adik-adiknya. Kerja keras yang tak lazim itu membuat tubuhnya kekar, tangan penuh kapal, dan kukunya menghitam. Dia berhenti sekolah, padahal semangat belajarnya sangat tinggi terutama belajar Bahasa Inggris. Rupanya walau sambil bekerja Enong tidak melupakan keinginannya untuk mahir berbahasa Inggris. Dia pun rajin mengikuti kursus di kota seminggu sekali. Walau usianya lebih tua dari peserta kursus  lain dia tak peduli. Enong juga mempunyai sahabat pena dengan sesama penyuka Bahasa Inggris.
           
            Cerita mulai bergulir saat ada kejuaraan catur memperingati hari kemerdekaan tujuh belas Agustus. Enong yang pernah menikah dengan Matarom demi menyenangkan hati ibunya karena adik-adiknya telah menikah semua. Rupanya nasib baik tak berpihak pada Enong, Matarom  tak seperti ayahnya yang penyayang. Matarom telah memiliki istri lain dan perlakuannya pada Enong buruk. Akhirnya mereka bercerai dengan sakit hati yang ditanggung Enong. Namun Enong sangat kuat, dia hanya  bersedih satu malam saja, menangis namun esok harinya  sudah  mulai lagi bekerja menambang timah. Sakit hati pada Matarom itu ingin dibalaskan pada pertandingan catur, padahal Enong sama sekali tak bisa main catur.

            Maka mulailah Ikal sibuk mengajari catur Enong. Setelah bisa diajaknya ponakannya Alvin yang juara catur di SD untuk menjadi lawan tandingnya. Setelah Enong  dapat mengalahkan Alvin, mulailah Ikal meminta Ninochka teman kuliahnya di Sorbonne Perancis yang orang Ukraina dan grand master perempuan untuk mengajari Enong catur jarak jauh. Tak cukup melibatkan Alvin sebagai teman belajar, Ikal juga mengajak Detekrif M, teman  mainnya sejak kecil untuk memata-matai permainan catur calon lawan Enong. Diagaram permainan catur mereka dicatat Detektif M Nur, untuk kemudian dilaporkan kepada Ninochka melalui internet. Dianalisis dan Ninochka akan memberi saran bagaimana cara mengalahkan mereka.
           
            Sungguh petualangan yang seru dan menggelikan. Andrea juga membuat saya tersenyum simpul kala memberi nama pada kedai kopi  milik pamannya tempat dia bekerja sebelum mendapat pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Warung kopi itu bernama 'Usah Kau Kenang Lagi". Atau orkes melayu milik Bang  Zaitun "Orkes Melayu Pasar Ikan Belok Kiri". Demikian juga watak paman Ikal pemilik warung kopi yang suka bertolak belakang, dari mencaci maki pemerintah terutama Menteri Pendidikan namun dapat berbalik memuju-muji, dan kembali mencaci. Menurut Andrea pamannya punya kepribadian ganda. Karakter paman ini dieksploitasi habis-habisan sebagai pemancing tawa. Bahkan karena bekerja jadi pelayan di warung kopi membuat Ikal menjadi  pengamat watak-watak orang yang menjadi pelanggan warung kopi. Menurutnya ada beberapa tipe manusia berdasarkan   kopi yang diminum.

            Dari watak para peminum kopi pahit, kopi dengan gula dan susu,  atau ada yang cukup air dengan gulanya tanpa kopi. Pengamatan itu ditulis dalam bukunya  Buku Besar Peminum Kopi.

MARYAMAH/ENONG
            Nah kembali ke Maryamah. Baru ingin menjadi peserta turnamen catur, Maryamah atau Enong telah menjadi topik perbincangan yang hangat di pasar, di warung kopi. Terjadi perdebatan yang ramai antara yang setuju dan yang tidak setuju. Akhirnya diputuskan dengan  voting, dan hasilnya Enong boleh mendaftar jadi peserta.

            Dengan bantuan Ikal, Alvin, Detektif M. Nur dan Ninochka Enong berhasil menang mengungguli lawan-lawannya yang semuanya pria. Karena adanya perempuan yang ikut turnamen catur, warung kopi tempat turnamen menjadi ramai oleh penonton baik laki-laki maupun perempuan pendukung Enong. Akhirnya Enong dapat mencapai final dan dia bertemu dengan musuh yang adalah mantan suaminya Matarom. Inilah saat catur menjadi pertaruhan harga diri dan balas dendam. Tak lagi sekadar permainan atau pun olah raga.
           
            Alhasil Enong pun berhasil mengalahkan Matarom, runtuhlah sebuah keangkuhan dan keangkaramurkaan. Matarom kalah dengan kepala tertunduk dan Enong mendapat tepuk tangan yang luar biasa. Termasuk dari Ninochka yang jauh-jauh datang dari Ukraina untuk mendukung Enong. Sebuah cerita yang manis, menarik, mengharukan. Humor-humor cerdas bertaburan di buku ini. Humor khas Andrea Hirata. Bagi saya inilah karya sastra yang dapat populer namun tetap bermuatan nilai-nilai kemanusiaan.

            `Setelah selesai membaca kita masih terkenang. Bahkan masih ingin membaca ulang. Tetralogi Laskar Pelangi tak terhitung berapa kali saya baca ulang, namun tetap saja saya tertawa jika lucu, terharu pada saat sedih. Benar kata mendiang dosen sastra saya Bapak Rahman "Sastra memperhalus jiwa". Mari kita membaca sastra, melalui novel-novel Andrea Hirata  kita akan belajar banyak hal. Termasuk belajar tentang watak orang Melayu yang selalu diceritakan  oleh penulis.




Copyright © 2014 Dunia Students